Selasa, 09 Agustus 2016

Kamis, 04 Agustus 2016

Amnesti Pajak

Cara mudah memahami amnesti pajak :
  1. Budi punya celengan di rumah, tapi mamanya selalu mengecek celengan Budi setiap kali Budi ingin memecahkannya/membuka.
  2. Amir teman Budi juga punya celengan di rumahnya sendiri dan tidak pernah di cek mamanya ketika ingin memecahkannya/membuka. maka Budi menitipkan celengannya kepada Amir dirumah Amir.
  3. Mendengar celengan Amir tidak pernah di cek mamanya, teman-teman Amir dan Budi semua menitipkan celengannya di rumah Amir. inilah yang dinamakan "OFFSHORE INVESTMENT".
  4. Suatu hari Mama Amir membersihkan kamar Amir dan mendapati banyak celengan di kamar Amir, ini namanya "ACCIDENTIAL AUDIT".
  5. Celengan itu lengkap dengan tulisan nama masing-masing pemiliknya (Teman-teman Amir dan Budi yang menitipkan celengan). ini namanya, "PANAMA PAPER".
  6. Mama Amir akhirnya berinisiatif mengontak semua Mama dari anak-anak yang menitipkan celengannya kepada Amir.
  7. Ternyata Budi menitipkan celengan disana karena mamanya memaksa untuk memberi sumbangan yang besar dan aturan yang berbelit-belit setiap kali Budi memecahkan celengannya
  8. Lain lagi si Polan, ia menitipkan celengannya untuk menyamarkan uang dari hasil memalak teman-mannya. Ini yang namanya "MONEY LAUNDERING".
  9. Sedangkan Badu menitipkan celengannya dari hasil berjualan es lilin di sekolah tanpa ketahuan Mamanya. ini namanya, "INSIDER TRADING".
  10. Ketika seluruh Mama teman-teman Amir dan Budi tahu bahwa anak mereka menitipkan celengannya Akhirnya meminta anak-anaknya menarik semua celengan nya dan mengembalikannya ke rumah masing-masing. ini yang namanya 'TAX AMNESTI"


Berikut dibawah ini adalah Undang Undang Pengampunan Pajak atau Undang Undang  Tax Amnesty
uuamnesty
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2016
TENTANG
PENGAMPUNAN PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
  1. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan, memerlukan pendanaan besar yang bersumber utama dari penerimaan pajak
  2. bahwa untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang terus meningkat, diperlukan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya yang ada
  3. bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu ditingkatkan karena terdapat Harta, baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
  4. bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sampai dengan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:     UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  1. Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  1. Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan Harta.
  1. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  1. Tunggakan Pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum dilunasi berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  1. Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak.
  1. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  2. Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan Harta, Utang, nilai Harta bersih, serta penghitungan dan pembayaran Uang Tebusan.
  1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
  1. Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri sebagai bukti pemberian Pengampunan Pajak.
  1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir yang selanjutnya disebut SPT PPh Terakhir adalah:
  • Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2015 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Juli 2015 sampai dengan 31 Desember 2015; atau.
  • Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015.
  1. Manajemen Data dan Informasi adalah sistem administrasi data dan informasi Wajib Pajak yang berkaitan dengan Pengampunan Pajak yang dikelola oleh Menteri.
  1. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerima setoran penerimaan negara dan berdasarkan Undang-Undang ini ditunjuk untuk menerima setoran Uang Tebusan dan/atau dana yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak.
  1. Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015.


BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
  1. Pengampunan Pajak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. keadilan;
c. kemanfaatan; dan
d. kepentingan nasional.
2. Pengampunan Pajak bertujuan untuk:
a. mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;
b. mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan
c. meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.
BAB III
SUBJEK DAN OBJEK PENGAMPUNAN PAJAK
Pasal 3
  1. Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.
  2. Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.
  3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Wajib Pajak yang sedang:
a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan;
b. dalam proses peradilan; atau
c. menjalani hukuman pidana,
atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
4. Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak.
5. Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas kewajiban:
a. Pajak Penghasilan; dan
b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
BAB IV
TARIF DAN CARA MENGHITUNG UANG TEBUSAN
Pasal 4
  1. Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar:
a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;
b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
2. Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia  dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar:
a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;
b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
3. Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar:
a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau
b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan,
untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Pasal 5
  1. Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang Tebusan.
  2. Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
  3. Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih antara nilai Harta dikurangi nilai Utang.
Pasal 6
  1. Nilai Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi:
a. nilai Harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan
b. nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
2.  Nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
3. Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir tahun buku sesuai dengan SPT PPh Terakhir.
4. Nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai nominal untuk Harta berupa kas atau nilai wajar untuk Harta selain kas pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
5. Dalam hal nilai Harta tambahan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta tambahan ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan:
a. nilai nominal untuk Harta berupa kas; atau
b. nilai wajar pada akhir Tahun Pajak Terakhir untuk Harta selain kas,
dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
Pasal 7
  1. Nilai Utang yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi:
a. nilai Utang yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan
b. nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.
2. Untuk penghitungan dasar pengenaan Uang Tebusan, besarnya nilai Utang yang berkaitan secara langsung dengan perolehan Harta tambahan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta bagi:
a. Wajib Pajak badan paling banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai Harta tambahan; atau
b. Wajib Pajak orang pribadi paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai Harta tambahan.
3. Nilai Utang yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
4. Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir tahun buku sesuai dengan SPT PPh Terakhir.
5. Nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam daftar Utang pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
6. Dalam hal nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang selain Rupiah, nilai Utang ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
BAB V
TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PERNYATAAN, PENERBITAN
SURAT KETERANGAN, DAN PENGAMPUNAN
ATAS KEWAJIBAN PERPAJAKAN
Pasal 8
  1. Untuk memperoleh Pengampunan Pajak, Wajib Pajak harus menyampaikan Surat Pernyataan kepada Menteri.
  2. Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:
a. pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen lain yang  
   dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan; atau
b. Wajib Pajak orang pribadi;
c. penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi sebagaimana dimaksud pada huruf b berhalangan.
3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. menyampaikan SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban 
    menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
b. melunasi seluruh Tunggakan Pajak;
c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. membayar Uang Tebusan;
e. melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan;
f. mencabut permohonan:
1. pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
2. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi perpajakan dalam Surat Ketetapan 
    Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang   
    terutang;
3. pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar;
4. keberatan;
5. pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan;
6. banding;
7. gugatan; dan/atau
8. peninjauan kembali,
dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
4. Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus dibayar lunas ke kas negara melalui Bank Persepsi.
5. Pembayaran Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan surat setoran pajak yang berfungsi sebagai bukti pembayaran Uang Tebusan setelah mendapatkan validasi.
6. Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak harus mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menginvestasikan Harta dimaksud di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun:
a. sebelum 31 Desember 2016 bagi Wajib Pajak yang memilih menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan/atau
b. sebelum 31 Maret 2017 bagi Wajib Pajak yang memilih menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c.
7. Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak tidak dapat mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat
selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan.
Pasal 9
  1. Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat paling sedikit informasi mengenai identitas Wajib Pajak, Harta, Utang, nilai Harta bersih, dan penghitungan Uang Tebusan.
  2. Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. bukti pembayaran Uang Tebusan;
b. bukti pelunasan Tunggakan Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki Tunggakan Pajak;
c. daftar rincian Harta beserta informasi kepemilikan Harta yang dilaporkan;
d. daftar Utang serta dokumen pendukung;
e. bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan;
f. fotokopi SPT PPh Terakhir; dan
g. surat pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f.
3. Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6), selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus melampirkan surat pernyataan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan.
4. Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7), selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan.
5. Bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), Wajib Pajak dimaksud harus melampirkan surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha.
Pasal 10
  1. Surat Pernyataan disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri.
  2. Sebelum menyampaikan Surat Pernyataan dan lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Wajib Pajak meminta penjelasan mengenai pengisian dan pemenuhan kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pernyataan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri.
  3. Berdasarkan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak membayar Uang Tebusan dan menyampaikan Surat Pernyataan beserta lampirannya.
  4. Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri menerbitkan Surat Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima Surat Pernyataan beserta lampirannya dan mengirimkan Surat Keterangan kepada Wajib Pajak.
  5. Dalam hal jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri belum menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan dianggap diterima sebagai Surat Keterangan.
  6. Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dapat menerbitkan surat pembetulan atas Surat Keterangan dalam hal terdapat:
a. kesalahan tulis dalam Surat Keterangan; dan/atau
b. kesalahan hitung dalam Surat Keterangan.
7. Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
8. Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga sebelum atau setelah Surat Keterangan atas Surat Pernyataan yang pertama atau kedua diterbitkan.
9. Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan yang kedua atau ketiga, penghitungan dasar pengenaan Uang Tebusan dalam Surat Pernyataan dimaksud memperhitungkan dasar pengenaan Uang Tebusan yang telah dicantumkan dalam Surat Keterangan atas Surat Pernyataan sebelumnya.
10 Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Uang Tebusan yang disebabkan oleh:
a. diterbitkannya surat pembetulan karena kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b; atau
b. disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (8),
atas kelebihan pembayaran dimaksud harus dikembalikan dan/atau diperhitungkan dengan kewajiban perpajakan lainnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat pembetulan atau disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga dimaksud.
Pasal 11
  1. Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diberi tanda terima sebagai bukti penerimaan Surat Pernyataan.
  2. Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan:
a. pemeriksaan;
b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau
c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir.
3. Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan:
a. pemeriksaan;
b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau
c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, terhadap pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dimaksud ditangguhkan sampai dengan diterbitkannya Surat Keterangan.
4. Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihentikan dalam hal Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri menerbitkan Surat Keterangan.
5. Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan, memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa:
a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atas kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang sebelumnya telah ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3),
yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5).
6. Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d dilakukan oleh pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan tugas dan fungsi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB VI
KEWAJIBAN INVESTASI ATAS HARTA YANG DIUNGKAPKAN
DAN PELAPORAN
Pasal 12
  1. Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) harus mengalihkan Harta dimaksud melalui Bank Persepsi yang ditunjuk secara khusus untuk itu paling lambat:
a. tanggal 31 Desember 2016 bagi Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) huruf a; dan/atau
b. tanggal 31 Maret 2017 bagi Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) huruf b.
2. Jangka waktu investasi paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) terhitung sejak tanggal dialihkannya Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. surat berharga Negara Republik Indonesia;
b. obligasi Badan Usaha Milik Negara;
c. obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah;
d. investasi keuangan pada Bank Persepsi;
e. obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
f. investasi infrastruktur melalui kerja sama Pemerintah dengan badan usaha;
g. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Pemerintah; dan/atau
h. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
  1. Wajib Pajak   atau   kuasa   yang   ditunjuk   harus menyampaikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri mengenai:
a. realisasi pengalihan  dan  investasi  atas  Harta tambahan      yang   diungkapkan   dalam   Surat Pernyataan untuk Harta tambahan yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi Wajib Pajak yang harus mengalihkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6); dan/atau
b. penempatan atas Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan untuk Harta tambahan yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi Wajib Pajak yang tidak dapat mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7).
2. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dapat menerbitkan dan mengirimkan surat peringatan setelah batas akhir periode penyampaian Surat Pernyataan dalam hal:
a. Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6); dan/atau
b. Wajib Pajak yang menyatakan tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7).
3. Wajib Pajak harus menyampaikan tanggapan atas surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal kirim.
4. Dalam hal berdasarkan tanggapan Wajib Pajak diketahui bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) dan/atau Pasal 8 ayat (7), berlaku ketentuan:
a. terhadap Harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan atas penghasilan dimaksud dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
b. Uang Tebusan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak diperhitungkan sebagai pengurang pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
5. Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku ketentuan mengenai perlakuan khusus dalam rangka Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
BAB VII
PERLAKUAN PERPAJAKAN
Pasal 14
  1. Bagi Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan menurut ketentuan Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, harus membukukan selisih antara nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang disampaikan dalam Surat Pernyataan dikurangi dengan nilai Harta bersih yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca.
  2. Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf b yang berupa aktiva tidak berwujud, tidak dapat diamortisasi untuk tujuan perpajakan.
  3. Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf b yang berupa aktiva berwujud, tidak dapat disusutkan untuk tujuan perpajakan.
Pasal 15
  1. Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan membayar Uang Tebusan atas:
a. Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan; dan/atau
b. Harta berupa saham,
yang belum dibaliknamakan atas nama Wajib Pajak, harus melakukan pengalihan hak menjadi atas nama Wajib Pajak.
2. Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan, dalam hal:
a. permohonan pengalihan hak; atau
b. penandatanganan surat pernyataan oleh kedua belah pihak di hadapan notaris yang menyatakan bahwa Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah benar milik Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, dalam hal Harta dimaksud belum dapat diajukan permohonan pengalihan hak,
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2017.
3. Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan dalam hal terdapat perjanjian pengalihan hak dalam jangka waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2017.
4. Apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2017, Wajib Pajak tidak mengalihkan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pengalihan hak yang dilakukan dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan.
Pasal 16
  1. Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, tidak berhak:
a. mengompensasikan kerugian fiskal dalam surat pemberitahuan untuk bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, ke bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak berikutnya;
b. mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak dalam surat pemberitahuan atas jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) untuk masa pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir, ke masa pajak berikutnya;
c. mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dalam surat pemberitahuan atas jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan/atau
d. melakukan pembetulan surat pemberitahuan atas jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, setelah Undang-Undang ini diundangkan.
2. Setelah Undang-Undang ini diundangkan, pembetulan surat pemberitahuan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan dianggap tidak disampaikan.
Pasal 17
  1. Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Gugatan, Putusan Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan, tetap dijadikan dasar bagi:
a. Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak dan/atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kerugian fiskal; dan
c. Wajib Pajak  untuk  mengompensasikan  kelebihan pembayaran pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2. Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Gugatan, Putusan Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan, tidak dapat dijadikan dasar bagi:
a. Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak dan/atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kerugian fiskal; dan
c. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak.
3. Dalam hal terdapat Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan yang mengakibatkan timbulnya kewajiban pembayaran imbalan bunga bagi Direktorat Jenderal Pajak, atas kewajiban dimaksud menjadi hapus.
BAB VIII
PERLAKUAN ATAS HARTA YANG BELUM
ATAU KURANG DIUNGKAP
Pasal 18
  1. Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.
  2. Dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan
b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
3. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.
4. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB IX
UPAYA HUKUM
Pasal 19
  1. Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan.
  2. Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada badan peradilan pajak.
BAB X
MANAJEMEN DATA DAN INFORMASI
Pasal 20
Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.
Pasal 21
  1. Menteri menyelenggarakan Manajemen Data dan Informasi dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini.
  2. Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain.
  3. Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri.
  4. Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 22
Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 23
  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
  2. Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
BAB XII
KETENTUAN PELAKSANAAN PENGAMPUNAN PAJAK
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. pelaksanaan Pengampunan Pajak;
b. penunjukan Bank Persepsi yang menerima pengalihan Harta;
c. prosedur dan tata cara investasi;
d. penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); dan
e. penunjukan pejabat yang berwenang untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), Pasal 10 ayat (5), Pasal 10 ayat (6), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (2),
diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2016
TENTANG
PENGAMPUNAN PAJAK
  1. UMUM
Pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami perlambatan yang berdampak pada turunnya penerimaan pajak dan juga telah mengurangi ketersediaan likuiditas dalam negeri yang sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sisi lain, banyak Harta warga negara Indonesia yang ditempatkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik dalam bentuk likuid maupun nonlikuid, yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menambah likuiditas dalam negeri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Permasalahannya adalah bahwa sebagian dari Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut belum dilaporkan oleh pemilik Harta dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilannya sehingga terdapat konsekuensi perpajakan yang mungkin timbul apabila dilakukan pembandingan dengan Harta yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang bersangkutan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan para pemilik Harta tersebut merasa ragu untuk membawa kembali atau mengalihkan Harta mereka dan untuk menginvestasikannya dalam kegiatan ekonomi di Indonesia.
Selain itu, keberhasilan pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat, yaitu penerimaan pembayaran pajak. Agar peran serta ini dapat terdistribusikan dengan merata tanpa ada pembeda, perlu diciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. Hal ini didasarkan pada masih maraknya aktivitas ekonomi di dalam negeri yang belum atau tidak dilaporkan kepada otoritas pajak. Aktivitas yang tidak dilaporkan tersebut mengusik rasa keadilan bagi para Wajib Pajak yang telah berkontribusi aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakan karena para pelakunya tidak berkontribusi dalam pembiayaan pembangunan nasional.
Untuk itu, perlu diterapkan langkah khusus dan terobosan kebijakan untuk mendorong pengalihan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus memberikan jaminan keamanan bagi warga negara Indonesia yang ingin mengalihkan dan mengungkapkan Harta yang dimilikinya dalam bentuk Pengampunan Pajak. Terobosan kebijakan berupa Pengampunan Pajak atas pengalihan Harta ini juga didorong oleh semakin kecilnya kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena semakin transparannya sektor keuangan global dan meningkatnya intensitas pertukaran informasi antarnegara.
Kebijakan Pengampunan Pajak dilakukan dalam bentuk pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika Wajib Pajak diwajibkan untuk membayar Uang Tebusan atas Pengampunan Pajak yang diperolehnya. Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini, penerimaan Uang Tebusan diperlakukan sebagai penerimaan Pajak Penghasilan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dalam jangka pendek, hal ini akan dapat meningkatkan penerimaan pajak pada tahun diterimanya Uang Tebusan yang berguna bagi Negara untuk membiayai berbagai program yang telah direncanakan. Dalam jangka panjang, Negara akan mendapatkan penerimaan pajak dari tambahan aktivitas ekonomi yang berasal dari Harta yang telah dialihkan dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari aspek yuridis, pengaturan kebijakan Pengampunan Pajak melalui Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena berkaitan dengan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan.
Undang-Undang ini dapat menjembatani agar Harta yang diperoleh dari aktivitas yang tidak dilaporkan dapat diungkapkan secara sukarela sehingga data dan informasi atas Harta tersebut masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan dan dapat dimanfaatkan untuk pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa yang akan datang.
Kebijakan Pengampunan Pajak seyogianya diikuti dengan kebijakan lain seperti penegakan hukum yang lebih tegas dan penyempurnaan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta kebijakan strategis lain di bidang perpajakan dan perbankan.
Dengan berpegang teguh pada prinsip atau asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional, tujuan penyusunan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut:
  • mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;
  • mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan
  • meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.
Secara  garis  besar,  pokok-pokok  ketentuan  yang  diatur  dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
  1. pengaturan mengenai subjek Pengampunan Pajak;
  2. pengaturan mengenai objek Pengampunan Pajak;
  3. pengaturan mengenai tarif dan cara menghitung Uang Tebusan:
  4. pengaturan mengenai tata cara penyampaian Surat Pernyataan, penerbitan Surat Keterangan, dan pengampunan atas kewajiban perpajakan;
  5. pengaturan mengenai kewajiban investasi atas Harta yang diungkapkan dan pelaporan;
  6. pengaturan mengenai perlakuan perpajakan;
  • pengaturan mengenai perlakuan atas Harta yang belum atau kurang diungkap;
  • pengaturan mengenai upaya hukum;
  • pengaturan mengenai manajemen data dan informasi; dan
  • pengaturan mengenai ketentuan pidana.
2. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah pelaksanaan Pengampunan Pajak harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah pelaksanaan Pengampunan Pajak menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah seluruh pengaturan kebijakan Pengampunan Pajak bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kepentingan nasional” adalah pelaksanaan Pengampunan Pajak mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Wajib Pajak yang berhak mendapatkan Pengampunan Pajak adalah Wajib Pajak yang mempunyai kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Dalam hal Wajib Pajak belum mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Wajib Pajak harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak di kantor Direkorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam hal Wajib Pajak baru memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak pada tahun 2016 dan belum menyampaikan SPT Tahunan PPh Terakhir, tambahan Harta bersih yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan seluruhnya diperhitungkan sebagai dasar pengenaan Uang Tebusan.
Ayat (2)
Pada prinsipnya Pengampunan Pajak diberikan atas kewajiban perpajakan yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak, yang terepresentasi dalam Harta yang belum pernah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. Besarnya dasar pengenaan Uang Tebusan adalah Harta tambahan yang belum pernah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir dikurangi dengan Utang yang terkait dengan perolehan Harta tambahan tersebut.
Ketentuan ini mengatur cara penghitungan Uang Tebusan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak yang mengajukan Surat Pernyataan.
Contoh 1:
Wajib Pajak A hanya memiliki Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2015 (SPT PPh Terakhir)
Wajib Pajak melaporkan:
a. Nilai Harta Rp15.000.000.000,00
b. Nilai Utang Rp5.000.000.000,00 _
c. Nilai Harta bersih Rp10.000.000.000,00
Dalam Surat Pernyataan yang disampaikan pada periode bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, diketahui bahwa:
a. Nilai Harta Rp20.000.000.000,00
b. Nilai Utang Rp6.000.000.000,00 _
c. Nilai Harta bersih Rp14.000.000.000,00
Dengan demikian dasar pengenaan Uang Tebusan adalah: Rp14.000.000.000,00 – Rp10.000.000.000,00 = Rp4.000.000.000,00.
Penghitungan Uang Tebusan:Tarif pada periode bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku adalah 2% (dua persen);
Dasar pengenaan Uang Tebusan adalah Rp4.000.000.000,00; Uang Tebusan yang harus dibayar:
2% x Rp4.000.000.000,00 = Rp80.000.000,00.
Contoh 2:
Wajib Pajak B mengikuti program Pengampunan Pajak bermaksud mengalihkan sebagian Harta dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia namun dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2015 (SPT PPh Terakhir) Wajib Pajak B hanya melaporkan Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan rincian sebagai berikut:
a. Nilai Harta Rp15.000.000.000,00
b. Nilai Utang Rp 5.000.000.000,00 _
c. Nilai Harta bersih Rp10.000.000.000,00
Dalam Surat Pernyataan yang disampaikan pada periode bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, diungkapkan bahwa:
Total nilai Harta Wajib Pajak pada tanggal 31 Desember 2015 adalah Rp50.000.000.000,00 terdiri atas:
  • Nilai Harta dalam SPT PPh Terakhir sebesar Rp15.000.000.000,00;
  • Nilai Harta yang belum dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebesar Rp35.000.000.000,00, terdiri atas:
  • Nilai Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar Rp12.000.000.000,00;
  • Nilai Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar Rp23.000.000.000,00;
Total nilai Utang Wajib Pajak pada tanggal 31 Desember 2015 adalah Rp14.000.000.000,00 terdiri atas:
  • Nilai Utang dalam SPT PPh Terakhir sebesar Rp5.000.000.000,00;
  • Nilai Utang yang belum dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebesar Rp9.000.000.000,00, terdiri atas:
Nilai Utang yang berkaitan dengan Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar Rp3.000.000.000,00;
Nilai Utang yang berkaitan dengan Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar Rp6.000.000.000,00;
  • Nilai Harta bersih pada saat penyampaian Surat Pernyataan:
Nilai Harta bersih yang berkaitan dengan Harta yang akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah:
Rp12.000.000.000,00 – Rp3.000.000.000,00 = Rp9.000.000.000,00;
Nilai Harta bersih yang berkaitan dengan Harta di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah:
Rp23.000.000.000,00 – Rp6.000.000.000,00 = Rp17.000.000.000,00.
Dengan demikian dasar pengenaan Uang Tebusan untuk:
  1. Harta yang akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar: Rp9.000.000.000,00 – 0 = Rp9.000.000.000,00
  1. Harta yang tidak akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar: Rp17.000.000.000,00 – 0 = Rp17.000.000.000,00
Penghitungan Uang Tebusan:
Tarif pada periode penyampaian Surat Pernyataan bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku adalah:
  • 2% (dua persen) untuk Harta yang akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
  • 4% (empat persen) untuk Harta yang tidak akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sehingga perhitungan Uang Tebusan adalah sebagai berikut:
  • untuk Harta yang akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia: 2% x Rp9.000.000.000,00= Rp180.000.000,00.
  • untuk Harta yang tidak akan dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia: 4% x Rp17.000.000.000,00= Rp680.000.000,00.
Dengan demikian, total Uang Tebusan yang dibayar oleh Wajib Pajak adalah: Rp180.000.000,00 + Rp680.000.000,00 = Rp860.000.000,00
Ayat (3)
Dalam hal Utang yang terkait dengan perolehan Harta tambahan telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir, Utang tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta tambahan dalam Surat Pernyataan.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini mengatur mengenai dasar penentuan nilai Harta tambahan pada akhir tahun buku yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan.
Yang dimaksud dengan “nilai wajar” adalah nilai yang menggambarkan kondisi dan keadaan dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian Wajib Pajak. Nilai Wajar dimaksud dicatat sebagai harga perolehan Harta yang dilaporkan paling lambat pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2017.
Contoh 1:
Untuk Wajib Pajak yang tahun bukunya sama dengan tahun kalender:
Nilai Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, yaitu nilai Harta pada tanggal 31 Desember 2015 sesuai dengan nilai wajar untuk Harta selain kas atau sesuai dengan nilai nominal untuk Harta berupa kas, pada tanggal tersebut.
Contoh 2:
Untuk Wajib Pajak badan yang tahun bukunya tidak sama dengan tahun kalender, sebagai contoh Wajib Pajak C menggunakan tahun buku yang dimulai dari bulan Agustus 2014 dan berakhir pada bulan Juli 2015:
Nilai Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, yaitu nilai Harta selain kas pada tanggal 31 Juli 2015 sesuai dengan nilai wajar untuk Harta selain kas atau sesuai dengan nilai nominal untuk Harta berupa kas, pada tanggal tersebut.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan” adalah Utang yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kebenaran dan keberadaannya yang digunakan langsung untuk memperoleh Harta tambahan tersebut, antara lain Utang tersebut diakui sebagai piutang oleh pemberi pinjaman.
Ayat (2)
Ketentuan pada ayat ini hanya diberlakukan untuk kepentingan pelaksanaan Undang-Undang ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemimpin tertinggi” misalnya:
  • dalam Perseroan Terbatas adalah direktur utama, presiden direktur, atau yang dipersamakan dengan memperhatikan struktur organisasi dalam akta pendirian atau dokumen lain yang dipersamakan;
    • dalam yayasan adalah ketua yayasan;
    • dalam koperasi adalah ketua koperasi.
Yang dimaksud dengan “berhalangan” adalah tidak dapat melaksanakan kewajiban dalam masa jabatannya.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Ketentuan ini mengatur bahwa:
  1. bagi Wajib Pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum tahun 2016 yang:
  • telah menyampaikan SPT PPh Terakhir maka Wajib Pajak wajib melampirkan fotokopi SPT PPh Terakhir; atau
  • belum menyampaikan SPT PPh Terakhir maka Wajib Pajak wajib terlebih dahulu menyampaikan SPT PPh Terakhir dan melampirkannya dalam Surat Pernyataan; atau
2. bagi Wajib Pajak yang baru memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak pada tahun 2016 dan 2017, tidak wajib melampirkan fotokopi SPT PPh Terakhir.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Surat setoran pajak yang berfungsi sebagai bukti pembayaran Uang Tebusan dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) yang diterbitkan melalui modul penerimaan negara.
Ayat (6)
Dalam hal Wajib Pajak mengalihkan Harta dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri, jangka waktu 3 (tiga) tahun dihitung sejak Wajib Pajak menempatkan Hartanya di cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri dimaksud. Cabang Bank Persepsi dimaksud wajib mengalihkan Harta dimaksud ke Bank Persepsi di dalam negeri.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “informasi mengenai identitas Wajib Pajak” antara lain informasi mengenai nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor paspor, Nomor Induk Kependudukan, dan surat izin usaha.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “informasi kepemilikan Harta” antara lain berupa informasi mengenai lokasi, tahun perolehan, dan nomor bukti kepemilikan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah segala hal yang dapat membuktikan kebenaran dari daftar Utang yang diungkapkan, antara lain akad kredit dan surat pengakuan Utang antara dua pihak di hadapan notaris atau di hadapan saksi.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Ketentuan ini berlaku bagi Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi perpajakan dalam Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, keberatan, pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan, banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali yang belum mendapat surat keputusan atau putusan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha” adalah pernyataan yang berisi pencatatan peredaran usaha Wajib Pajak mulai Januari sampai dengan Desember pada Tahun Pajak Terakhir.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”pengisian dan pemenuhan kelengkapan dokumen” termasuk penghitungan besarnya Uang Tebusan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dan besarnya Tunggakan Pajak yang harus dilunasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang perlu dibetulkan sebagaimana mestinya.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Penyampaian Surat Pernyataan kedua atau ketiga dilakukan dalam rangka memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak antara lain untuk:
  • mengungkapkan penambahan Harta yang belum disampaikan dalam Surat Pernyataan atau pengurangan Harta yang telah disampaikan dalam Surat Pernyataan;
  • mengungkapkan perubahan penghitungan Uang Tebusan karena Wajib Pajak melakukan perubahan dari semula menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi tidak mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang ditentukan;
  • mengungkapkan perubahan penghitungan Uang Tebusan karena Wajib Pajak melakukan perubahan dari semula menyatakan tidak akan mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang ditentukan.
Dalam hal Wajib Pajak melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan/atau huruf c, tarif Uang Tebusan yang semula menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menjadi menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
Ayat (9)
Ketentuan ini mengatur cara penghitungan Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan yang kedua atau ketiga.
Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan atas Surat Pernyataan sebelumnya” adalah:
  • dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan yang ketiga, “Surat Keterangan atas Surat Pernyataan sebelumnya” adalah Surat Keterangan atas Surat Pernyataan yang kedua; atau
  • dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan yang kedua, “Surat Keterangan atas Surat Pernyataan sebelumnya” adalah Surat Keterangan atas Surat Pernyataan yang pertama.
Contoh:
Wajib Pajak melaporkan Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Surat Pernyataan pertama yang disampaikan, diungkapkan bahwa:
  1. nilai Harta bersih pada 31 Desember 2015 adalah Rp15.000.000.000,00;
  2. nilai Harta bersih dalam SPT PPh Terakhir adalah Rp5.000.000.000,00;
  3. dasar pengenaan Uang Tebusan adalah: Rp15.000.000.000,00 – Rp5.000.000.000,00 = Rp10.000.000.000,00;
  4. Uang Tebusan yang dibayar adalah: 2% x Rp10.000.000.000,00 = Rp200.000.000,00.
Atas Surat Pernyataan pertama, diterbitkan Surat Keterangan pertama yang mencantumkan Uang Tebusan sebesar Rp200.000.000,00, dengan dasar pengenaan Uang Tebusan Rp10.000.000.000,00.
Karena terdapat Harta yang belum diungkapkan, Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan kedua yang disampaikan dalam kurun waktu bulan keempat sampai dengan 31 Desember 2016, diungkapkan bahwa:
  • nilai Harta bersih per 31 Desember 2015 adalah Rp35.000.000.000,00 (termasuk Harta tambahan sebesar Rp20.000.000.000,00);
  • nilai Harta bersih dalam SPT PPh Terakhir adalah Rp5.000.000.000,00;
  • Dasar pengenaan Uang Tebusan adalah: Rp35.000.000.000,00 – Rp5.000.000.000,00 = Rp30.000.000.000,00;
Dasar pengenaan Uang Tebusan yang telah dicantumkan dalam Surat Keterangan atas Surat Pernyataan pertama adalah Rp10.000.000.000,00;
Dasar pengenaan Uang Tebusan yang harus dibayar dalam Surat Pernyataan kedua adalah: Rp30.000.000.000,00 – Rp10.000.000.000,00 = Rp20.000.000.000,00;
Uang Tebusan yang dibayar adalah:
3% x Rp20.000.000.000,00= Rp600.000.000,00.
Atas Surat Pernyataan kedua, diterbitkan Surat Keterangan kedua yang mencantumkan Uang Tebusan sebesar Rp600.000.000,00. Dalam hal Wajib Pajak tersebut di atas mengungkapkan kembali Harta pada periode yang sama dengan Surat Pernyataan pertama maka:
  • besarnya tarif Uang Tebusan adalah sama dengan tarif Uang Tebusan pada Surat Pernyataan pertama; dan
  • pengungkapan kembali Harta merupakan Surat Pernyataan kedua
Apabila menggunakan contoh penghitungan di atas maka Uang Tebusan yang harus dibayar ke kas negara yang dicantumkan dalam Surat Pernyataan kedua adalah:
2% x Rp20.000.000.000,00 = Rp400.000.000,00.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal Wajib Pajak mengalihkan Harta dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri, jangka waktu 3 (tiga) tahun dihitung sejak
Wajib Pajak menempatkan Hartanya di cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri dimaksud. Cabang Bank Persepsi dimaksud wajib segera mengalihkan Harta dimaksud ke Bank Persepsi di dalam negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tanggal kirim” adalah tanggal pada saat surat peringatan dikirim sebagaimana tercantum dalam bukti pengiriman.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Harta dimaksud belum dapat diajukan permohonan pengalihan hak” adalah keadaan dimana Harta yang berupa tanah dan/atau bangunan belum diterbitkan sertifikat hak kepemilikan atas tanah seperti: sertifikat hak milik, sertifikat hak guna bangunan, dan sejenisnya.
Permohonan pengalihan hak atau surat pernyataan yang ditandatangani oleh dua belah pihak di hadapan notaris yang menyatakan bahwa Harta sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah benar milik Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, dapat dijadikan sebagai dasar pengurangan Harta bagi Wajib Pajak yang mengalihkan Harta, dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan berikutnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian pengembalian kelebihan pembayaran pajak adalah pemindahbukuan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur antara lain mengenai perlakuan atas Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan.
Contoh 1:
Pada tahun 2017, Direktorat Jenderal Pajak menemukan adanya Harta bersih yang diperoleh tahun 2010 dengan nilai Rp10.000.000.000,00 dan oleh orang pribadi atau badan tersebut belum diungkapkan dalam Surat Pernyataan.
Harta bersih senilai Rp10.000.000.000,00 tersebut akan diperlakukan sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud dan perlakuan perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Contoh 2:
Pada daftar Harta bersih yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, Wajib Pajak menyatakan memiliki Harta berupa tanah persil A seluas 10 Ha dengan harga perolehan Rp1.000.000.000,00. Pada tahun 2017, diketahui bahwa persil A milik Wajib Pajak tersebut ternyata seluas 20 Ha dengan harga perolehan Rp2.000.000.000,00. Atas kekurangan pengungkapan Harta bersih dalam Surat Pernyataan tersebut sebesar Rp1.000.000.000,00 akan diperlakukan sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud oleh Direktorat Jenderal Pajak dan perlakuan perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Tindak pidana yang diatur meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik jika Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
">

Sejarah Pajak Dunia dan Indonesia

   MESIR
 
Selama kendali, berbagai pemungut pajak Firaun Mesir dikenal sebagai ahli – ahli Taurat. Selama satu periode ahli – ahli Taurat dikenakan pajak atas minyak goreng. Untuk memastikan bahwa warga tidak menghindari ahli – ahli Taurat minyak goreng akan mengaudit pajak rumah tangga untuk memastikan bahwa jumlah minyak goreng yang tepat dikonsumsi dan bahwa warga tidak menggunakan sisa – sisa yang dihasilkan oleh proses memasak lainnya sebagai pengganti minyak dikenakan pajak.
2.      YUNANI
Dalam masa perang Athena dikenakan pajak disebut sebagai eisphora. Tidak seorang pun dibebaskan dari pajak yang digunakan untuk membayar pengeluaran khusus perang. Orang Yunani adalah salah satu dari beberapa masyarakat yang mampu untuk membatalkan sebuah pajak darurat. Ketika sumber daya tambahan diperoleh dengan upaya perang sumber daya yang digunakan untuk pengembalian pajak. Athena memberlakukan pajak bulanan pada orang asing, orang – orang Athena yang tidak memiliki orang tua, satu dirham untuk pria dan setengah dirham untuk perempuan. Pajak ini disebut sebagai metoikion.


      ROMA
Pajak awal di Roma adalah bea impor dan ekspor yang disebut portoria. 
Kaisar Augustus dipertimbangkan oleh banyak orang sebagai ahli strategi pajak yang paling cemerlang dari Kekaisaran Romawi. Selama pemerintahannya sebagai "Warga Negara Pertama" yang hampir dieliminasi sebagai pengumpul pajak untuk pemerintah pusat. Selama periode ini, kota diberi tanggung jawab untuk mengumpulkan pajak. Kaisar Augustus menetapkan pajak warisan untuk menyediakan dana pensiun bagi militer. Pajak ini 5% pada semua warisan kecuali hadiah kepada anak – anak pasangan. Inggris dan Belanda mengacu pada pajak warisan Augustus dalam mengembangkan sendiri pajak warisan.
Selama masa Julius Caesar, yang 1% pajak penjualan dikenakan. Selama masa Kaisar Augustus, pajak penjualan adalah 4% untuk budak dan 1% untuk segala sesuatu yang lain. Santo Matius adalah seorang pemungut cukai dari Kapernaum selama pemerintahan Kaisar Augustus. Dia bukan dari publicani lama tapi disewa oleh pemerintah lokal untuk mengumpulkan pajak.
4.      INGGRIS RAYA
Pajak pertama dinilai di Inggris selama pendudukan oleh Kekaisaran Romawi.
Lady Godiva adalah wanita Anglo-Saxon yang tinggal di Inggris selama abad ke-11. Menurut legenda, suami Leofric Lady Godiva, Earl of Mercia, berjanji untuk mengurangi pajak yang tinggi yang dikenakan pada penduduk Coventry ketika dia setuju untuk naik telanjang melalui jalan – jalan kota.
Ketika Roma jatuh, raja – raja Saxon mengenakan pajak, disebut sebagai Danegeld,
pada tanah dan properti. Raja – raja juga dikenakan bea masuk yang cukup besar. 100 tahun Perang (konflik antara Inggris dan Prancis) yang dimulai pada 1337 dan berakhir pada tahun 1453. Salah satu faktor utama pertempuran pada 1369 adalah pemberontakan para bangsawan dari Aquitaine atas kebijakan pajak menindas dari Edward, The Prince Hitam. Pajak selama abad ke-14 yang sangat progresif; Pajak Poll 1377 mencatat bahwa pajak Duke of Lancaster adalah 520 kali pajak pada petani umum. Di bawah skema pajak awal dikenakan pada pajak pendapatan, pemegang kantor, dan pendeta. Pajak atas harta bergerak dikenakan pada pedagang. Masyarakat miskin membayar pajak sedikit atau tidak ada.
Charles akhirnya dituntut dengan pengkhianatan dan dipenggal. Namun, masalah dengan Parlemen terjadi karena perbedaan pendapat pada tahun 1629 tentang hak – hak perpajakan yang diberikan Raja dan hak perpajakan yang diberikan DPR. Raja Writ menyatakan bahwa individu harus dipajaki sesuai dengan status. Oleh karena itu, ide pajak progresif pada mereka dengan kemampuan untuk membayar dikembangkan sangat awal.
Pajak lain yang menonjol selama periode ini adalah pajak tanah dan berbagai pajak cukai. Untuk membayar tentara diperintahkan oleh Oliver Cromwell, Parlemen, tahun 1643, dikenakan pajak cukai pada komoditas penting (padi – padian, daging, dll). Pajak yang dikenakan oleh Parlemen diekstraksi dana bahkan lebih dari pajak yang dikenakan oleh Charles I, khususnya dari orang miskin. Pajak cukai sangat regresif, meningkatkan pajak pada orang miskin begitu banyak. Sehingga terjadi kerusuhan pada 1647. Kerusuhan terjadi karena pajak baru menurunkan kemampuan buruh pedesaan untuk membeli gandum ke titik di mana sebuah keluarga dari empat keluarga akan kelaparan. Selain cukai, tanah umum yang digunakan untuk berburu oleh kelas petani yang tertutup dan petani dilarang berburu.
Sebuah pendahulu pajak penghasilan modern, yang kita kenal sekarang diciptakan oleh Inggris pada tahun 1800 untuk membiayai keterlibatan mereka dalam perang dengan Napoleon. Pajak ini dicabut pada tahun 1816 dan penentang pajak  yang berpikir demikian hanya harus digunakan untuk membiayai perang, semua catatan pajak hancur bersama dengan cabutannya. Catatan dibakar di depan umum oleh menteri keuangan tapi salinan dipertahankan di basement pengadilan pajak.
5.      KOLONIAL AMERIKA
Koloni yang membayar pajak di bawah UU Tetes yang diubah pada 1764 untuk memasukkan bea impor molase asing, gula, anggur dan komoditas lainnya. Tindakan baru yang kemudian dikenal sebagai Undang – undang Gula. Karena Undang – undang Gula tidak menaikkan jumlah pendapatan yang cukup besar, Stamp Act menambahkan dengan mengenakan pajak langsung pada semua surat kabar dicetak dalam koloni dan dokumen paling komersial dan hukum pada tahun 1765.
6.      PASCA REVOLUSI AMERIKA
Pada 1794 pemukim barat Alleghenies, bertentangan dengan cukai Alexander Hamilton dari 1791, mulai apa yang sekarang dikenal sebagai "Pemberontakan Whiskey" Pajak cukai dianggap diskriminatif dan pemukim kerusuhan melawan penagih pajak. Presiden Washington akhirnya mengirim pasukan untuk menumpas kerusuhan. Meskipun dua pemukim akhirnya divonis pengkhianatan, Presiden memberikan mereka pengampunan. 
Pada tahun 1798 Kongres mengesahkan Pajak Properti Federal untuk membayar perluasan Angkatan Darat dan Angkatan Laut dalam hal kemungkinan perang dengan Perancis. Pada tahun yang sama, John Fries mulai dengan apa yang disebut sebagai "Pemberontakan Fries" yang bertentangan dengan pajak baru. Tidak ada yang terluka atau tewas dalam pemberontakan. Kemudian Fries ditangkap karena, tapi akhirnya diampuni oleh Presiden Adams tahun 1800. Anehnya, Fries adalah pemimpin unit milisi yang dipanggil keluar untuk menekan "Pemberontakan Whiskey."
Pajak pendapatan pertama disarankan di Amerika Serikat selama Perang 1812. Pajak ini didasarkan pada Undang – Undang Pajak Inggris 1798 dan diterapkan tarif progresif untuk pendapatan. Pajak ini dikembangkan pada tahun 1814 tetapi tidak pernah diberlakukan karena perjanjian Ghent ditandatangani pada 1815 yang mengakhiri permusuhan dan kebutuhan untuk pendapatan tambahan.
Undang – Undang Pajak tahun 1861 mengusulkan bahwa “akan ada pemungutan, pengumpulan, dan pembayaran, atas penghasilan tahunan setiap orang yang tinggal di AS, baik diperoleh dari segala jenis properti atau dari perdagangan profesional, pekerjaan atau panggilan dijalankan di Amerika Serikat atau di tempat lain, atau dari sumber apapun.”
Undang – Undang Pajak tahun 1862 disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Lincoln 1 Juli 1862. Tingkatnya adalah 3% atas penghasilan di atas $ 600 dan 5% atas penghasilan di atas $ 10.000. Sewa atau nilai sewa dari rumah dapat dikurangkan dari penghasilan dalam menentukan kewajiban pajak. Penerimaan ini disebabkan kebutuhan pendapatan untuk membiayai Perang Saudara.Undang – Undang Pajak tahun 1864 disahkan untuk meningkatkan penghasilan tambahan untuk mendukung Perang Saudara.
Dengan berakhirnya Perang Sipil keceriaan publik diterima berkenaan dengan pajak berkurang. Undang – Undang Pajak tahun 1864 dimodifikasi setelah perang. Tingkat diubah menjadi 5% datar dengan jumlah pembebasan dinaikkan menjadi $ 1.000. Dari 1870 – 1872 tingkatnya adalah 2,5 persen datar dan jumlah pembebasan dan dinaikkan menjadi $ 2.000.
Pajak ini dicabut pada tahun 1872 dan di tempatnya dipasang pembatasan tarif yang signifikan yang berfungsi sebagai sumber pendapatan utama untuk AS sampai tahun 1913. Pada tahun 1913 Amandemen ke-16 disahkan, yang memungkinkan Kongres otoritas pajak warga negara atas penghasilan yang berasal dari sumber apapun.
Perlu dicatat bahwa Undang – Undang Pajak tahun 1864 ditentang beberapa kali. Mahkamah Agung dengan suara bulat mendukung pajak. Setelah perang pajak dinyatakan inkonstitusional oleh pengadilan yang sama karena diwakili pajak langsung pada warga yang tidak diperbolehkan di bawah konstitusi.
SUMBER:
Lumbantoruan, Shopar. 1996. Akuntansi Pajak. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.


SEJARAH PAJAK INDONESIA
 
Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak penjualan(PPn) 1951 Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “Landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “Landrente”. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964.
Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia, ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967. dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlakumulai1 November1965. Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi.
 Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah " a person's faculty, personal faculties and abilitites",
Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.
Sejarah perpajakan di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa kurun waktu yaitu masa penjajahan Belanda, setelah merdeka sampai 1979, 1979 sampai tahun 1983, dan 1983 sampai sekarang. Pada masa penjajahan Belanda, sistem perpajakan menekankan fungsinya pada segi pemasukan keuangan untuk keperluan penjajahan di negri Belanda. Karena pajak ditarik dari rakyat untuk kepentingan pembangunan di Negri Belanda maka sistem pemungutan pajak yang dianut pada masa itu adalah sistem yang meletakkan dasar kekuatan administrasi perpajakan. Sistem ini menekankan bahwa jumlah pajak terutang, sepenuhnya ditentukan oleh aparat pajak. Kelemahan sistem ini adalah wajib pajak tidak diberikan kepercayaan sama sekali dalam penghitungan utang pajaknya. Aparat perpajakan memiliki wewenang yang sangat luas, sehingga sangat merugikan wajib pajak. 
Sekalipun Indonesia telah merdeka, namun hukum perpajakan tidak banyak berubah. Perubahan yang dilakukan tidak mendasar, sehingga hukum pajak yang berlaku masih meletakkan landasannya pada kekuasaan administrasi parpajakan. Karena pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pajak maka pada tahun 1967 diperkenalkan sistem pemungutan pajak yang dikenal sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang lsin) dengan undang-undang No. 867 junto Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 1967. Sistem pemungutan pajak dalam cara yang baru itu termasuk sistem self assessment.
Sejak tahun1983 telah berlaku undang-undang No.6 Tahun 1983, undang-undang No.7 Tahun 1983 dan Undang-undang No.8 Tahun 1983. Dalam undang-undang perpajakan tahun 1983 tersebut berlaku asas perpajakan Indonesia, yaitu :
1.        Asas kegotongroyongan nasional terhadap kewajiban kenegaraan, termasuk membayar pajak.
2.        Asas keadilan, dalam pemungutan pajak kewenangan yang dominan tidak lagi diberikan kepada aparat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar.
3.        Asas kepastian hukum, wajib pajak diberikan ketentuan yang sederhana dan mudah dimengerti serta pelaksanaan administrasi pemungutan pajaknya tidak birokratis.
4.        Asas kepercayaan penuh, masyarakat diberikan kepercayaan enuh untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, termasuk keaktifan pelaksanaan administrasi perpajakan.
Dengan berlakunya undang-undang No.6, 7, dan 8 Tahun 1983 maka sistem perpajakan Indonesia secara mutlak menganut sistem self assessment dan kewenangan aparat pajak tidak lagi seluas kewenangan yang diperolehnya dalam undang-undang perpajakan yang lama.
SUMBER:
Lumbantoruan, Shopar. 1996. Akuntansi Pajak. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia


ATURAN PAJAK INDONESIA SEBELUM ERA REFORMASI 
 
Pajak yang berlaku sebelum reformasi perpajakan ada yang masih tetap berlaku sampai sekarang dan ada yang sudah dihapuskan. Beberapa jenis pajak di Indonesia sebelum reformasi perpajakan dibedakan menjadi pajak negara dan pajak daerah yang secara singkat dijelaskan di bagian berikut ini:
Sejak zaman penjajahan Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak, UU yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1.      Staatsblad Nomor 13 Tahun 1908 tentang Ordonasi Rumah Tangga
2.      Staatsblad Nomor 498 Tahun 1921 tentang Aturan Bea Materai
3.      Staatsblad Nomor 291 Tahun 1924 tentang Ordonasi Bea Balik Nama
4.      Staatsblad Nomor 405 Tahun 1932 tentang Ordonasi Pajak Kekayaan
5.      Staatsblad Nomor 718 Tahun 1934 tentang Ordonasi Pajak Kendaraan Bermotor
6.      Staatsblad Nomor 611 Tahun 1934 tentang Ordonasi Pajak Upah
7.      Staatsblad Nomor 671 Tahun 1936 tentang Ordonasi Pajak Potong
8.      Staatsblad Nomor 17 Tahun 1944 tentang Ordonasi Pajak Pendapatan
9.      UU No. 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio
10.  UU No. 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I
11.  UU No. 12 Tahun 1952 tentang Pajak Peredaran
12.  UU Tahun 1951 tentang Pajak Penjualan yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968
13.  UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan UU No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti
14.  UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa
15.  UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing
16.  UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK dan PPs atau Tata Cara MPS – MPO.
Reformasi pajak atau pembaruan perpajakan, telah dilakuakan sejak tanggal 1 Januari 1984. Bersamaan dengan dikeluarkannya serangkaian Undang – undang yaitu:
1.      UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
2.      UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Kedua, undang – undang ini berlaku sejak 1 Januari 1984
3.      UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, direncanakan diberlakukan tahun 1984 juga tetapi karena masih ada sesuatu yang harus dipersiapkan lebih matang maka undang – undang tersebut diberlakukan mulai 1 April 1985
4.      UU No. 12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
5.      UU No. 13 tentang Bea Materai
UU No. 12 Tahun 1985 dan UU No. 13 Tahun 1985 mulai diberlakukan tahun 1995. Pada tahun 1991 dikeluarkan UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan diubah dengan UU No. 7 Tahun 1991.

SUMBER:
Suandy, Erly. 2002. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat